Alumni Menyapa: Pengabdian Alumni Pendidikan Matematika UNIPMA di Papua 

Saya Citra Hariyani Putri, S.Pd, Gr lulusan IKIP PGRI Madiun (sekarang Universitas PGRI Madiun) jurusan Pendidikan Matematika  lulusan tahun 2011. Berawal dari kegalauan setelah lulus kuliah ...Seperti lulusan pada umumnya, pasti sebagian besar akan merasa galau karena belum tahu mau kemana setelah lulus. Saat itu ijazah dan transkrip masih dalam proses pembuatan. Sembari menunggu ijazah keluar, saya masih sering berkunjung ke kampus sekedar bertemu teman-teman, mencari informasi kerja ataupun menghilangkan jenuh karena masih menganggur.

Disuatu kesempatan yang menjadi titik awal perjalanan karir ini, mata saya tertuju pada sebuah brosur yang terpasang dipapan pengumuman. Brosur yang berisi pendaftaran Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T) sekilas memang tidak menarik, karena kita diminta untuk mengabdikan diri di daerah yang tak terbayangkan sebelumnya selama satu tahun di luar Pulau Jawa pula. Namun dalam pengabdian itu kita akan digaji dan setelah mengabdi akan mendapatkan beasiswa PPG (Pendidikan Profesi Guru).

Dalam benak sebagian orang, tinggal di daerah yang terpencil itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan termasuk saya dikala itu. Saya yang notabene tidak pernah keluar dari Madiun, merasa tak tertarik dan ragu untuk ikut program tersebut. Namun karena kegalauan yang melanda, akhirnya saya memberanikan diri  berkonsultasi dengan orang tua dan sempat berharap orang tua tidak mengizinkan. Namun diluar harapan, ternyata mereka malah mendukung dan menyuruh saya untuk segera mendaftarkan diri.

Akhirnya, perlahan lahan saya mengumpulkan tekad dan keberanian mendaftarkan diri ke Universitas Negeri Surabaya yang menjadi salah satu penyelenggara program tersebut. Saya yang tidak pernah keluar Madiun sendirian, sering merasa canggung dan bingung. Namun saya berpikir kapan lagi saya akan mendapatkan pengalaman kalau bukan saat ini, karena tidak selamanya kita akan bergantung pada orang tua. Bagaimanapun juga kita harus bisa mandiri dan mencari jalan hidup sendiri.

Saya tak pernah menyangka, ternyata Allah S W T selalu memberi kemudahan dalam segala prosesnya. Mungkin ini sudah jalan takdir saya, lolos dalam tes, diberi kemudahan dalam kegiatan prakondisi dan segala persyaratan yang dibutuhkan dapat saya penuhi dengan mudah. Akhirnya dengan penuh keyakinan dan keikhlasan, berangkatlah saya ke tempat tugas yaitu di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Pengabdian itu, perlahan membuat saya lebih mensyukuri lagi nikmat yang diberikan oleh Tuhan kepada saya selama ini. Rasa bahagia dikelilingi oleh anak-anak yang haus akan ilmu membuat saya lebih bersemangat dalam mengajar. Kepolosan, keceriaan dan tekad mereka, memberikan kekuatan pada saya untuk bisa memberikan yang terbaik bagi mereka.

SMP Negeri Kataka adalah sekolah penempatan saya, tepatnya di kecamatan Kahaungu Eti desa Kataka. Jarak tempuh dari pusat kota Waingapu sekitar 80 km. Tempat tugas saya memang dipelosok, tanpa listrik dan tanpa sinyal. Namun itu masih jauh lebih baik dari pada tempat tugas sebagian teman-teman seperjuangan saya yang sangat jauh dari kota, tanpa listrik, sinyal bahkan tidak tersedia air. Tak jarang untuk mendapatkan 10 liter air, teman-teman saya harus menempuh jarak yang jauh dengan medan yang naik turun bukit dan bebatuan terjal.

Jarak antara rumah-rumah penduduk disana sangat berjauhan dengan medan yang berbukit-bukit. Jadi tak heran kalau banyak siswa saya yang datang terlambat ke sekolah karena jarak yang harus mereka tempuh tersebut. Masyarakat disana sangat welcome dengan kedatangan kami. Tak jarang ketika kami berkunjung ke rumah-rumah mereka, kami disuguhi beraneka ragam hasil kebun seperti jagung, kelapa, sayur-sayuran bahkan terkadang dibawakan buah tangan seekor ayam.

Ada sebuah kendala selama mengajar disana yaitu sebagian anak-anak disana tidak lancar berbahasa Indonesia, Mereka terbiasa menggunakan bahasa daerah sehingga dalam pelajaran mereka kurang memahami apa yang dijelaskan oleh guru. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami dalam mengajarkan sebuah materi pelajaran. Satu tahun pengabdian di Sumba Timur memberikan pengalaman yang sangat berharga dalam hidup. Saya menjadi lebih tahu arti dari perjuangan yang sesungguhnya. Keterbatasan bukanlah halangan dalam meraih asa. Keyakinan dan keikhlasan adalah kunci dalam menjalani kehidupan ini.

Setelah berakhirnya masa pengabdian, saya menjalani masa PPG (Pendidikan Profesi Guru) selama satu tahun. Kami diasramakan dengan 6 bulan teori dalam kelas , 4 bulan praktik lapangan dan 2 bulan membuat PTK (Penelitian Tindakan Kelas) serta ujian kelulusan. Sungguh suatu kesempatan yang sangat berharga sekali bisa mendapatkan program tersebut. Karena selain biaya perkuliahan yang ditanggung pemerintah, setelah lulus secara otomatis kita akan mendapatkan sertifikat sebagai guru professional. Ditengah tingginya biaya PPG saat ini dan tak semua orang bisa dengan mudah mengikuti pendidikan tersebut, membuat saya tak hentinya-hentinya bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan kepada saya.

Selama melaksanakan PPG, kami dibimbing dalam pembuatan perangkat pembelajaran yang baik dan benar. Mulai dari analisis SK-KD karena masih menggunakan kurikulum 2006, perumusan Silabus, penyusunan RPP, membuat media pembelajaran, menyusun instrument penilaian serta penentuan model pembelajaran yang tepat dalam setiap materinya. Setelah penyusunan perangkat pembelajaran kami diharuskan melaksanakan peer teaching yang akan dinilai oleh dosen pembimbing kami. Setelah 6 bulan melaksanakan perkuliahan dalam kelas, kami melaksanakan praktik lapangan selama 3 bulan. Saya mendapatkan tempat praktik di SMP Negeri 13 Surabaya. Tak jauh beda dengan PPL pada waktu kuliah S1, kami juga diberikan satu kelas untuk melakukan proses belajar mengajar dan menganalisis permasalahan yang ada di kelas tersebut guna mendapatkan bahan dalam pembuatan PTK (Penelitian Tindakan Kelas) sebagai tugas akhir. Tahap terakhir dalam proses pendidikan ini adalah ujian. Kami melaksanakan 2 jenis ujian yaitu Ujian Tulis Lokal yang disiapkan oleh kampus dan Ujian Tulis Nasional secara online. Kedua ujian ini akan menentukan lulus tidaknya kami pada PPG kali ini.

Tahun 2014, saya telah dinyatakan lulus dari program PPG dengan hasil yang lumayan memuaskan. Kehidupan selanjutnya saya dihadapkan lagi dengan kegalauan mencari pekerjaan. Setelah mengirimkan beberapa lamaran keberbagai sekolah baik di Surabaya dan Madiun, akhirnya saya diterima disebuah sekolah MTs di Surabaya. Walaupun saya diminta mengajarkan mata pelajaran IPA yang notabene bukan basic saya, namun saya tetap berusaha agar dapat mengajar anak didik saya dengan baik.

Awal tahun 2015, kemendikbud mengeluarkan pengumuman tentang penerimaan CPNS jalur khusus alumni SM-3T yang bernama Guru Garis Depan (GGD). Sebagai alumni SM-3T angkatan pertama, itu merupakan suatu kesempatan emas bagi saya karena belum memiliki banyak saingan. Alhamdulillah setelah mengikuti tes online, saya dinyatakan lolos menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Bahagianya lagi, saya bisa satu penempatan dengan suami saya. Kami diterima di kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua. Ya,,,, suami saya juga alumni SM-3T dengan penempatan yang sama Sumba Timur. Kami menjalin hubungan dekat saat masa PPG, bahasa gaulnya cinlok alias cinta lokasi J . Saya tak pernah menyangka banyak berkah selama mengikuti program ini. Andai saat itu saya bersikeras untuk tidak ikut mendaftar program ini, mungkin saya tak akan bertemu dengan belahan hati saya (hehe) Jodoh memang tidak ada yang tahu. J J

 

Jayawijaya,,,,, disinilah perjalanan karir saya berlanjut. Tempat ini memang tak asing bagi saya, karena dulu terlahir di kota ini. Orang tua saya (Bapak) dulu juga seorang guru PNS yang ditugaskan di Jayawijaya. Saya menjalani masa kecil di kota ini hingga kelas VI SD. Kota ini terletak di lembah Baliem dan dikelilingi oleh hamparan pegunungan hijau yang menyejukkan mata. Dengan hawa dingin yang terkadang menusuk saat pagi hari, tak menyurutkan tekad saya untuk berangkat ke sekolah yang jaraknya kurang lebih 16 km dari rumah. Saya percaya dengan keikhlasan ini, akan mendatangkan manfaat bagi saya, keluarga dan anak didik saya kelak. Keadaan dulu dan sekarang memang sangat berbeda. Sekarang kota ini sudah jauh lebih ramai dan banyak kemajuannya. Saya berharap bisa selalu mendedikasikan diri, mendidik dan mengantarkan anak didik saya  ke pintu gerbang kesuksesan.

SMA Negeri Kurulu adalah tempat tugas saya, tepatnya di  jalan Cendrawasih no 8 kampung Yiwika, distrik Kurulu. Kondisi anak-anak saya disini tak jauh beda dengan anak didik sewaktu di Sumba Timur dulu. Jarak rumah mereka ke sekolah sebagian besar juga sangat jauh dan itu ditempuh dengan berjalan kaki. Sepulang sekolah mereka harus membantu orang tua di kebun, sehingga tak jarang mereka kelelahan dan tak mengerjakan tugas mereka. Saat musim hujan, jam sekolah terkadang menjadi mundur hingga hujan reda. Jumlah siswa yang datang ke sekolah pun terkadang berkurang. Kami memakluminya namun tetap memberikan sangsi dan nasehat kepada mereka untuk tetap datang ke sekolah walaupun terlambat.

Dimanapun kita bertugas tentu tak luput dari berbagai kendala, begitu pula dengan saya. Telah banyak suka duka yang saya rasakan selama ini. Mulai dari dipalak orang mabuk saat perjalanan ke sekolah, mengajar sambil menggendong anak, hingga mengungsi karena kerusuhan. Tak jarang pula terjadi keributan - keributan kecil namun lumayan memacu adrenalin. Takut??? Iya takut,,, terkadang ketidaknyamanan itu membuat saya patah semangat dan berkeinginan untuk mutasi ke daerah yang lebih nyaman. Namun dilain sisi hati kecil saya berkata bahwa anak anak disini masih membutuhkan guru karena jumlah guru disini bisa dikatakan masih kurang. Saya hanya bisa berdoa kepada Tuhan agar kejadian-kejadian yang tidak diharapkan tersebut tidak pernah terulang kembali.

Pada masa pandemi seperti saat ini, sangatlah sulit bagi kami untuk memberikan pembelajaran. Program Belajar Dari Rumah (BDR) secara online yang dicanangkan oleh pemerintah tidak dapat diterapkan di sekolah saya karena akses internet yang buruk. Belum lagi tidak semua siswa saya memiliki Handphone. Oleh karena itu sekolah saya hanya bisa melakukan pembelajaran dengan pemberian modul dan LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik) setiap seminggu sekali. Memang bisa dikatakan pembelajaran seperti ini kurang efektif bagi anak didik saya. Hal ini dikarenakan mereka akan kebingungan dalam mengerjakan LKPD tanpa dijelaskan oleh guru mata pelajaran, apalagi untuk pelajaran matematika. Namun bagaimanapun juga kami harus mengikuti anjuran pemerintah untuk tidak melakukan pembelajaran tatap muka. Berharap pandemic ini segera berlalu dan kegiatan belajar mengajar bisa kembali normal seperti sedia kala.

Sebagai guru di manapun berada, kita harus siap dengan berbagai situasi dan kondisi. Saya berharap untuk adik-adik di Universitas PGRI Madiun, agar selalu bisa mengambil kesempatan positif yang ada didepan mata. Tetap optimis bahwa tidak ada usaha yang sia-sia. Selama kita mau berusaha dan berdoa, pasti ada jalan yang terbuka. Keyakinan dan keikhlasan juga turut andil dalam menentukan keberhasilan kita. Oleh karena itu berjuanglah demi masa depan, jangan menyerah pada keadaan. Tak lupa selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu diberi kemudahan.

Semangat !! ..................

Berjuang !! …………………

Berdoa !! ………………….